Rabu, 26 Agustus 2009

8-8

Teroris adalah kejahatan yang mengancam terhadap keamanan dan pertahanan Negara. Lingkup teroris bukan saja kejahatan kriminal biasa yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi merupakan kejahatan yang mengancam terhadap pertahanan Negara.


Penyerbuan Temanggung (Jawa Tengah) dan Jatiasih (Bekasi). Bukan saja menunjukan sebagai keberhasilan Polri dalam hal ini Densus 88, tetapi menyiratkan sejumlah tanya.
Penggerebekan mulai dilakukan pada Jumat (7/8/2009) malam hingga Sabtu (8/8/2009) dinihari. Di Temanggung polisi dengan 600 personel Densus 88 dengan senjata lengkap dan bom robotic, menyerbu dan menewaskan Ibrohim – buron bom Marriot. Awalnya dianggap Noordin M Top, akhirnya diketahui seorang Ibrohim - buron pelaku bom di kedubes Australia.
Sementara di Jatiasih (Bekasi), polisi menembak dua orang penghuni rumah itu yang mencoba kabur. Polisi melumpuhkan 2 pelaku, Air Setyawan dan Eko Peyang, yang diduga sebagai jaringan Noordin M Top. Dengan barang bukti darah di jok belakang mobil jenis Daihatsu Xenia warna merah AD 9324 DO dan pick up terbuka Mitsubishi.
Saya menyaksikan langsung. Ini pun setelah mendapat telepon dari seorang perwira Polri pada pukul 02.30 WIB, yang menginformasikan Kapolri sudah berada di TKP. Tetapi penangkapan sudah dilakukan. Begitu sampai di TKP, anggota Densus 88 sibuk menyisir lokasi.
Sekitar pukul 4.00 Wib, Kapolri melaksanakan press conference. Menyatakan bahwa pelaku yang ditangkap adalah Air Setyawan dan Eko Peyang, buron bom Kuningan. Keduanya mati setelah ditembak anggota Densus 88, setelah sebelumnya melakukan perlawanan.
Penangkapan di Temanggung dan Jatiasih dilakukan pada waktu yang sama yakni Jumat 7-8-2009 dan berakhir pada Sabtu, 8-8-2009. Negeri ini selalu percaya dengan mistik angka. 17-8-45, hari proklamasi memiliki makna mistis di hati Soekarno, 1808 kamar pelaku bom juga diutak atik dengan angka; apakah berkaitan dengan Penetapan Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI yang menyiratkan dan menghapus sila 1, “Ketuhanan yang Maha Esa, dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”.
Namun yang jelas 8-8, saat penangkapan teroris besar-besaran oleh Densus 88 merupakan kejadian luar biasa yang diekspos media tentang keberhasilan penangkapan dengan pasukan terbanyak dan hanya menangkap 3 orang pelaku itupun mati semua.
Makna 8-8, itu mungkin hanya Tuhan yang tahu.
Selengkapnya...

Ada Apa Dengan Kita

Ada apa dengan Malaysia era 2000-an ini. Pasca kepemimpinan Mahatir Muhammad yang sukses dengan menjadikan negeri kuat dalam ekonomi. Kini, kepemimpinannya lebih menohok dengan penguatan budaya. Hingga budaya tetangga dijadikan dan ditetapkan sebagai budaya nasionalnya.



Setelah Reog Ponorogo diklaim sebagai kebudayaan asli Malaysia. Dan mengakui lagu Rasa Sayange dari Maluku, Kerajinan Batik, Reog Ponorogo, Kuda Lumping dan Angklung. Kini dengan promosi pariwisata dalam bentuk iklan memamerkan tari Pendet Bali sebagai salah satu daya tarik wisatanya.
Alih-alih sebagai bahasa promosi. Namun yang harus dicermati adalah ada sebuah pergeseran yang sangat tajam dalam penguatan identitas negeri jiran itu, di tengah rakyat dan pemerintah Indonesia yang sedang bergelut dengan masalah sosial dan politik. Belum lagi persoalan dengan bomber menakutkan sang alligator Noordin M Top dan Azhari (yang keduanya berasal dari Malaysia).
Yang menyedihkan lagi, saat sidang rutin tahunan DPR RI jelang tanggal 17 Agustus 2009. Pada saat Presiden datang, dinyanyikan lagu mengheningkan cipta. Tidak ada lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan. Walau diakui Ketua DPR RI, Agung Laksono sebagai kesalahan protokol. Tetapi sebagai agenda nasional dan acara kenegaraan sekelas DPR RI yang ditayangkan secara langsung melalui televisi nasional, harus luput?
Menanggapi klaim Malaysia, reaksi pemerintah dan warga Indonesia hanya biasa saja? Apakah rasa memiliki budaya dan nasionalisme warga Indonesia sudah berkurang? Atau kita memang tidak perlu identitas lagi?
Sejatinya, kondisi ini menyadarkan kaum intelektual, budayawan, pemerintah dan anggota legsilatif serta seluruh rakyat indonesia. Bahwa apakah negeri ini hanya cukup merasa bahagia dan senang di hati, tanpa harus mengekspos identitas kebanggaan bangsa.
Kaum intelektual khususnya bidang seni dan budaya, seharusnya segera melakukan inventarisasi kesenian dan budaya yang menjadi ciri khas – identitas budaya bangsa. Dan sesegera mungkin memberikan kembali pelajaran tentang macam-macam seni budaya di sekolah-sekolah dari SD hingga SLTA. Apakah untuk nasionalisme dan keutuhan bangsa ini, dana selalu menjadi masalah?
Selengkapnya...

Jumat, 21 Agustus 2009

Bukan Sekedar Merdeka

“Dunia ini bagai panggung sandiwara” demikian bait lagu “Panggung Kehidupan” God Bless. Berbeda dengan skenario sinetron yang menjemukan dan kurang memiliki nilai-nilai moral, malah mendidik konsumtif dan hedonis. Skenario hidup Mbah Surip dan Rendra memberi makna.


Kemerdekaan hakiki ternyata telah dinikmati oleh Mbah Surip, penyanyi yang pernah menggelandang dan hidup dari jalanan dengan mengamen itu telah bebas ‘merdeka’ dari beban yang selama 63 tahun dinikmatinya. Tak ada derita maupun sesal dalam dirinya.
Kualitas spiritual Mbah Surip begitu jumawa. Kecerdasan moral, ketulusan dan kejujuran begitu tampak dari wajah polos beliau. Banyak sedekah dalam harta dan jiwa kepada teman seniman dan lingkungan di mana Mbah Surip pernah menggelandang adalah kekuatan dalam kehidupan sosialnya. Harta bukan sebagai dewa dalam kehidupannya, kekuatan moral yang tinggi dalam kesuksesannya. Niat baik dan berpikir positif terhadap semua orang, adalah sikap beliau yang sering diceriterakan sahabatnya.
Skenario Tuhan telah memberi jalan yang begitu indah bagi hidupnya. Di puncak kejayaannya, Mbah Surip hanya menikmati selama 3 bulan kesuksesannya – April sampai Agustus 2009 – Tuhan telah memanggilnya. Senyum dan bagai orang sedang tertidur sambil tersenyum tampak dalam badan terbujur kaku jenazahnya.
Begitu pula dengan Mas Willy, Rendra Sang Burung Merak yang meninggal 2 hari setelah Mbah Surip. Itulah skenario yang indah dari Tuhan, yang mungkin bisa dipetik oleh kita, tentang kesahajaan hidup dan jiwa berkorban buat orang lain. Menghibur, menyenangkan orang lain dan memberi warna kehidupan bagi orang lain. Walau dirinya menderita, tetapi kebahagiaan dan suara hati manusia bagi keduanya harus dikabarkan.
Kesahajaan Mbah Surip mungkin telah mencerminkan sisi kesederhanaan orang Indonesia asli. Senyum, santun, tahan akan penderitaan dan berjuang terus merupakan laku hidup sebagian masyarakat Indonesia.
Namun kesederhanaan dan sikap santun warga Indonesia telah dimanfaatkan orang-orang tidak bertanggung jawab dengan ‘mengamankan’ dirinya di sekitar kehidupan masyarakat Indonesia yang ramah. Warga pun tanpa curiga menerima kehadiran para pelaku teror, walau banyak perilaku yang ‘aneh’. Sehingga mereka dibuat kaget, ketika terjadi penangkapan di tetangga, atau komplek perumahannya. Bahkan Noordin M Top dan jaringannya telah menyihir sebagian pemuda untuk direkrut melakukan ‘jihad’ yang bukan pada tempatnya.
6 tahun, dari 2003 hingga 2009. Masyarakat sudah disilapkan matanya oleh gerakan Noordin M Top and gang berkeliaran dari rumah satu ke rumah lainnya. Sehingga perburuan terhadap dirinya selalu gagal, dan menghasilkan berita teror yang menakutkan karena masih bebas dan suatu saat dapat menjalankan aksinya lagi.
Perburuan Noordin M Top yang di Temanggung dan Bekasi pun menghenyak warga sekitarnya setelah beberapa media memberitakannya. Hampir semua media memberitakan penangkapan yang menghebohkan itu. Di Temanggung yang semula berita mengabarkan Noordin M Top tewas dikepung ternyata hanya Ibrohim, seorang ‘pengantin’ bom. Di Jati Asih Bekasi, media memberitakan tentang temuan polisi berkaitan dengan skenario pemboman rumah Presiden dan istana yang akan dilakukan para teroris. Warga di sekitar tempat kejadian pun seolah baru tersadar, bahwa di sebelahnya ada sarang pembunuh.
17 Agustus sebagai hari kemerdekaan pun telah memberi makna yang sangat dalam, bahwa meraih kemerdekan itu mengorbankan jiwa raga untuk seluruh warga bangsa, bukan untuk sebagian golongan. Para pejuang dan pahlawan kemerdekaan itu telah menyerahkan nyawanya untuk kemerdekaan seluruh negeri Indonesia.
Jasanya terkenang dan berkesan dalam sanubari anak bangsa. Tinta emas telah mengisahkan perjuangan dalam perang dan diplomasi merebut kemerdekaan. Heroisme dan buah fikiran cerdas berkaitan dengan negeri ini sebagai hasil karya para pemikir bangsa pun tertuang dalam berbagai buku. Bukankah ada peribahasa bahwa harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan amal perbuatan.
Hidup adalah pilihan. Kita mau dikenang karena kebaikan kita atau dikenang atas keburukan dan kejahatan yang kita lakukan. Karena sejatinya skenario hidup itu misteri, ada yang meninggal dengan kondisi tersenyum. Ada juga orang yang tewas mengenaskan dengan tembusan peluru dan dikepung puluhan aparat. Semua itu pilihan. Namun alangkah indahnya jika kehidupan dunia ini diisi dengan kebaikan dan kesahajaan hidup yang bermakna buat diri dan masyarakat. Bukankah hidup ini harus bermanfaat buat orang lain dan memberi kedamaian buat sesama?

Selengkapnya...

MEMBANGUN SPIRIT KEMERDEKAKAN KAUM MUDA

Proklamasi kemerdekaan RI 1945, tidak terlepas dari gelora kaum muda – Sukarni, Adam Malik, Sayuti Melik dan lainnya – mendorong Soekarno-Hatta, Sang Proklamator, untuk segera memerdekakan Indonesia, tanpa harus menunggu hadiah Jepang.


Kita tentu menyadari bahwa, proklamasi kemerdekaan bukanlah warisan atau pun hadiah untuk pemuda masa kini. Bukan pula hanya diperlakukan sebagai dokumen kuno yang disimpan di museum untuk dipajang. Proklamasi kemerdekaan merupakan amanah sejarah yang harus diemban kaum muda, untuk dipertahankan dan diwujudkan dalam tindakan nyata membangun bangsa Indonesia.
Kiprah generasi muda dalam perjuangan bangsa – dari sumpah pemuda, proklamasi dan kiprah pemuda lainnya dalam perjalanan bangsa ini. Sejatinya menjadi sumber inspirasi, spirit dan idola perjuangan kaum muda, di tengah krisis idola dan kepemimpinan untuk berjuang menciptakan hakikat bangsa-negara merdeka. Dan, perjuangan itu tak boleh berhenti dan harus terus berjalan tanpa batas demi kejayaan dan martabat Indonesia Raya.
Bahkan kemerdekaan yang diperjuangkan itu, hakikatnya merupakan spirit kaum muda untuk meraih dan menegakkan hak-hak dasar kemanusiaan universal dalam konteks warga negara dalam sebuah bangsa.
Intinya, perjuangan kaum muda dalam lintasan sejarah itu harus menjadi spirit kaum muda dalam upaya meraih martabat sebagai manusia utuh dan paripurna, cita kebebasan, kemerdekaan, terpenuhinya kebutuhan dasar untuk bebas dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Spirit dan cita itu akan tertanam terus dalam jiwa kaum muda dan tidak akan pernah berhenti.
Spirit Merdeka Kaum Muda
Gelora proklamasi bagi kaum muda. Bukan perjuangan dan gerakan milik pribadi ataupun golongannya saja. Apa yang disuarakan pemuda saat ini dengan berbagai aspirasi dan gerakannya, tak mudah mendapatkan legitimasi sebagai merepresentasikan aspirasi warga bangsa. Bahkan, saat aspirasi dan gerakan pemuda, termasuk di dalamnya mahasiswa, mengemuka dalam bentuk aksi maupun gerakan, tak lagi dipandang sebagai aspirasi kolektif kaum muda.
Pemuda dan lembaga kepemudaan tengah mengalami polarisasi, terkotak, terpecah dan terjadi pelemahan di berbagai lini. Bahkan, jika berkaca pada masa Orde Baru, gerakan kaum muda sering dijerat subversif, makar dan ancaman laten. Ini tantangan serius, sekaligus ancaman laten yang menggambarkan lumpuhnya aspirasi rakyat, khususnya kaum muda terhadap monopoli peran penguasa dan kendali hegemoni pengusaha yang merekayasa kehidupan bangsa kita.
Spirit dan cita perjuangan akan penjajahan serta merdeka dalam segala bentuk kehidupan itulah yang menjadi tujuan bersama perjuangan pemuda yang abadi. Dan segala bentuk yang akan melanggengkan penjajahan, merupakan musuh bersama gerakan kaum muda. Tak peduli akan berhadapan dengan siapapun. Jika dulu berhadapan dengan penjajahan fisik kolonialisme, saat ini mungkin berhadapan dengan musuh bersama dari sesama warga bangsa dan bahkan pemimpin yang tidak berpihak pada kepentingan bangsa dan negara, atau tidak memberi ruang ekspresi dan mengekang berpartisipasinya kaum muda dalam pembangunan sebagai generasi bangsa.

Dengan demikian, musuh utama perjuangan kaum muda bukanlah orang per orang, melainkan segala penentang dan pengkhianatan nilai-nilai kemanusiaan universal yang tertuang dalam spirit pembukaan UUD 1945. Jika pun ada, dalam kontek posisi jabatan publik dan pemegang mandat formal dalam sistem kenegaraan. Melakukan perlawanan pun masih dalam spirit kontrol dan pengawasan terhadap kinerja setiap jabatan publik yang memang harus dipertanggung jawabkan kepada rakyat. Dengan demikian, kritik dan sikap oposisi sekalipun bukan hanya didasarkan atas like and dislike, atau atas kepentingan partisan politis saja, tetapi sebagai kritik membangun bersama dalam konteks demokratisasi dan kemajuan bangsa.
Selengkapnya...