Minggu, 13 September 2009

PUASA KEBANGSAAN

MOMENTUM KEMERDEKAAN KE-64 TAHUN. Ditandai dengan wajah negeri yang berseri, setelah ditetapkannya dan dilantik anggota DPRD di berbagai daerah. Juga ditetapkannya hasil pemilihan presiden 2009, dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Budiono sebagai presiden dan wakil presiden 2009 – 2014 terpilih.


Lakon pileg dan pilpres 2009 – 2014 sudah usai, walau masih memberikan berbagai catatan untuk perbaikan ke depan. Tetapi semua dilaksanakan dengan damai dan bersatu, semua kontestan menerima hasil akhir dari ketetapan MK, sebagai pintu terakhir keputusan hasil perundangan dan sengketa pemilu.

Sekali lagi, demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan aman, damai dan tenteram. Demokrasi juga bukan hal yang baru bagi rakyat Indonesia, karena pemilihan kepala desa sebagai cikal bakal telah tumbuh di kehidupan bermasyarakat jauh sebelum demokrasi didengungkan oleh berbagai pihak.

Sifat legowo dan arif telah ditunjukan oleh tokoh-tokoh politik. Pemilu dan pilpres, sejatinya merupakan kemenangan rakyat Indonesia yang telah dengan seksama dan cerdas berpartisipasi aktif dalam kesuksesan pemilu. Kini dengan hasil pemilu, pilpres serta 64 tahun kemerdekaan RI, menjadi modal untuk melangkah menciptakan kejayaan bangsa dan Negara. Bukan saatnya lagi saling menyalahkan dan mencari kambing hitam. Kebersamaan harus segera diciptakan demi membangun negeri.

Kemerdekaan bukanlah berarti kebebasan tanpa batas yang lebih mengutamakan adanya kebebasan individu. Tetapi kemerdekaan Indonesia adalah hasil jerih payah perjuangan seluruh bangsa Indonesia yang patriotik, sehingga kebersamaan merupakan titik sentral yang menjadi arah setiap individu sebagai warga negara berkiprah demi kemajuan bangsa.

Karena bangsa ini menunggu seluruh komponen bangsa untuk menuntaskan ketertinggalan dan menggapai cita-cita luhur founding fathers yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Setelah kemerdekaan, tanggal 21 Agustus, umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia melaksanakan ibadah puasa Ramadhan 1430 H. Puasa bermakna mengosongkan lahir dan bathin, serta menjadi momentum semua bangsa untuk merefleksi diri secara vertikal kepada sang Khalik dan melapangkan dada dengan menghargai serta banyak memberi manfaat kepada sesama.

Bukankah, hakekat puasa itu tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, serrta mengendalikan hawa nafsu? Tetapi secara makro puasa dapat membentuk manusia berkualitas: bertaqwa, berdisiplin tinggi, jujur dan sabar serta berfikir positif dalam menghadapi persoalan hidup.

Jika kesimbangan antar lahir dan bathin dalam kerangka mengisi kemerdekaan dilaksanakan dengan sepenuh jiwa. Niscaya tidak akan ditemukan lagi perilaku yang hanya mementingkan diri sendiri dan golongan. Karena kesejahteraan seluruh diri – warga negara – adalah cita yang secara implisit termaktub dalam puasa dan kemerdekaan.

Momentum puasa dan kemerdekaan ini, menjadi media meningkatkan kemampuan diri, kesucian hati dan menebar kedamaian untuk seluruh umat. Puasa juga bermakna memerdekakan diri dari perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji terhadap sesama, dan sebagai upaya membaktikan diri untuk kesejahteraan bangsa, demi kejayaan Indonesia yang lebih bermartabat.
Selengkapnya...

AKSI BUDAYA

Nasib Reog Ponorogo tidak sehebat tari Pendet. Walau sama-sama bernilai mistik, namun tari pendet begitu diklaim dalam iklan visit Malaysia sebagai bagian budaya negeri jiran. Langsung mendapat dukungan dan reaksi yang memancing amarah, dengan sweeping warga Malaysia.



Aksi sweeping, baik diorganisir atau tidak merupakan bagian dari reaksi atas ketidak berdayaan pemerintahan yang menganggap biasa klaim Malaysia dan perlawanan atas kepongahan negeri jiran itu. Sejatinya pemerintahlah yang harus melakukan counter terhadap kesewenangan pemerintahan Malaysia.

Sekali lagi, identitas negeri ini akan pudar seiring dengan masuknya budaya asing yang terus menggerus kehidupan lewat media elektronik di ruang keluarga. Apalagi negeri ini sudah diporak poranda oleh kepentingan ekonomi asing melalui LSM (yang menjadi mitra NGO), pengusaha, cukong dan anggota legislatif yang tanpa sadar memperjualbelikan undang-undang untuk memuluskan kepentingan luar negeri baik dalam ranah budaya, pertahanan dan ekonomi. Apa reaksi masyarakat, terutama cerdik cendikia Indonesia melihat gelagat bangsa yang akan hilang jati dirinya ini???

Keberhasilan batik diakui UNESCO sebagai budaya asli Indonesia, harusnya menjadi pelajaran bahwa pemerintah dapat menggerakan seluruh potensi untuk menguatkan kembali identitas bangsa ini. Aksi Malaysia dengan mencaplok reog ponorogo, sipadan, Ligitan dan upaya luar yang akan menjadikan bangsa ini sebagai rakyat atau Negara konsumen yang hanya menjadi objek pasar harus menggugah kesadaran kebangsaan. Apakah negeri ini tetap menjadi negeri penonton dan objek?

Seluruh komponen negeri ini harus segera bereaksi atas aksi-aksi yang akan memperlemah budaya, politik dan ekonomi Indonesia. Dan Pemerintah sebagai pelaku utama segera sadar dan melakukan penguatan identitas, lihatlah Malaysia di tengah keberhasilannya mereka menguatkan kembali identitas bangsanya walau harus dengan mencuri.

Bagaimana Indonesia? Penguatan ekonomi tidak terkejar, identitas semakin luntur, politik luar negeri dan pertahanan bisa lemah… Ayo bangkit, bersatu, untuk kemandirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lebih bermartabat…
Selengkapnya...