Jumat, 17 April 2009

Gelembung Kursi

Bak anak kecil, para caleg dalam pemilu 2009, ternyata senang bermain gelembung. Mainan air gelembung yang terbuat dari air sabun, dan biasa ditiup anak-anak kecil ternyata mengasyikan dan dari sekali tiup muncullah puluhan gelembung kecil dan besar menghiasi udara, dan hilang begitu saja.


Berbeda dengan anak-anak. Para caleg bermain gelembung untuk mengangkat suaranya yang jeblok, dan mengatrol jadi bertambah. Biasanya permainan ini dilakukan dengan calo-calo politik sebagai operator lapangan dan petugas pelaksana pemilu yang terdiri dari petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS), Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) dan oknum pegawai KPU.

Permainan gelembung saat suara dihitung ini biasanya dilakukan oleh petugas PPK di tingkat kecamatan. Modusnya, caleg yang berambisi duduk di kursi dewan meminta ‘calo’ untuk mengatur permainan dengan petugas PPK atau meminta caleg dari partai kecil yang sudah tidak kuasa (pasti kalah) untuk melepas (menjual) suaranya kepada caleg yang masih punya harapan.

Hanya dengan handphone sebagai remote control-nya, semua dikendalikan dari satu titik menuju petugas PPK. Barulah petugas mencari celah partai atau caleg mana yang dikurangi dan dipindahkan kepada yang ‘mau membayar’. Aman untuk sementara.

Memang ini suatu permainan yang mengasyikan bagi para caleg yang gila kuasa, pandangannya dari pada gila beneran (stress) kaya caleg-caleg di beberapa daerah yang masuk rumah sakit jiwa atau pengobatan alternatif. Mending melakukan berbagai cara, yang penting tidak jadi gila. Tetapi jadi dewan, bisa menikmati berbagai fasilitasnya. Walau rugi dimuka, tapi untung kemudian. Itupun kalau tidak dicium atau bisa keluar dari jerat KPK..

Bermain gelembung suara ini biasanya juga dilakukan oleh para Ketua partai di suatu daerah, apalagi jika Ketua partai itu juga sebagai kepala daerah. Dengan kekuasaannya bisa memaksa KPU untuk merubah angka-angka suara. Sehingga keluar angka-angka baru dan tinggi, bak gelembung yang ditiup anak-anak.

Karut marut wajah politisi dan tingkah lakunya memang seperti anak kecil tidak berdosa. Jika ketahuan menyalahkan atau mengorbankan orang lain. “Aku gak tahu kenapa suaraku bisa berubah. Berarti kesalahan petugas penghitung” kilah caleg menyalahkan petugas lapangan yang merubah angkanya.

Jadi apa bedanya para caleg, saat penghitungan dan setelah jadi dewan? Tetap seperti ‘anak-anak’. Ingin menang sendiri, merengek untuk disuapi dan menginjak orang lain untuk kesenangan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar